
Bandung, 15 Juli 2025 – Di tengah banjir informasi, tekanan sosial media, dan kecanduan layar digital, tren baru yang disebut “Digital Detox Retreat” kini makin diminati kalangan urban Indonesia, terutama generasi milenial dan Gen Z. Konsepnya sederhana: liburan tanpa gadget, menjauh dari internet, media sosial, dan notifikasi—lalu fokus pada ketenangan batin, alam, dan kesadaran diri.
Retreat semacam ini mulai menjamur di berbagai tempat, dari pegunungan Lembang hingga pantai selatan Lombok. Dan bukan hanya tren, ini menjadi bagian dari gerakan “slow living” dan kesehatan mental holistik yang terus berkembang pasca pandemi dan masuk era hiper-digitalisasi.
Liburan Tanpa Ponsel: Antara Tantangan dan Kesembuhan
Program digital detox biasanya berlangsung 3–7 hari. Peserta diminta menyerahkan ponsel, laptop, dan smartwatch mereka sejak awal dan menggantinya dengan kegiatan seperti:
-
Yoga pagi di alam terbuka
-
Meditasi terpandu
-
Journaling dan refleksi diri
-
Kegiatan alam seperti hiking, tanam pohon, atau memasak bersama
-
Diskusi kelompok seputar tujuan hidup, burnout, dan makna produktivitas
Salah satu penyelenggara retreat terbesar di Indonesia, Selaras Retreats, mencatat lonjakan peminat hingga 185% pada semester pertama 2025, dengan peserta mayoritas berusia 25–38 tahun dan bekerja di sektor kreatif atau teknologi.
“Awalnya saya cemas jauh dari HP. Tapi setelah tiga hari, saya merasa benar-benar hidup kembali. Pikiran jadi lebih jernih,” ujar Tasya (29), desainer UI/UX asal Jakarta yang mengikuti program “Silent Forest Retreat” di Tawangmangu.
Destinasi Favorit Digital Detox di Indonesia
Beberapa tempat yang kini populer sebagai tujuan retreat antara lain:
-
Eco Retreat Lembah Harmoni – Lembang, Jawa Barat
-
Taman Suara Hening – Tabanan, Bali
-
Pulau Kenawa – Sumbawa Barat
-
Ranu Manduro Camp – Mojokerto, Jawa Timur
-
Rumah Tenang – Kaliurang, Yogyakarta
Retreat ini tidak hanya menyuguhkan keheningan, tetapi juga makanan sehat, penginapan ramah lingkungan, dan komunitas yang mendukung.
Didukung Psikolog dan Ahli Neurosains
Banyak ahli psikologi dan neuroscientist mendukung konsep digital detox sebagai cara efektif meredakan stres, kecemasan sosial, dan kelelahan otak akibat overstimulasi.
Dr. Ayu Kartika, M.Psi, menyatakan bahwa:
“Setiap hari kita menerima ribuan rangsangan visual dan audio dari layar. Otak tak diberi waktu untuk memproses, apalagi pulih. Digital detox memberi ruang pemulihan kognitif yang vital.”
Studi dari Universitas Indonesia pada 2024 juga menunjukkan bahwa peserta digital detox mengalami penurunan kadar kortisol (hormon stres) sebesar 47% dalam tiga hari pertama.
Dari Tren ke Gaya Hidup Baru
Menariknya, banyak peserta yang membawa gaya hidup ini ke keseharian mereka setelah retreat. Beberapa perubahan yang umum dilakukan antara lain:
-
Membatasi screen time maksimal 2 jam/hari di luar kerja
-
Membuat hari tanpa internet setiap minggu
-
Menggunakan ponsel dengan fitur minimal (basic phone)
-
Memprioritaskan interaksi nyata dan mindfulness
Influencer seperti Sheila Dara, Adinia Wirasti, dan Vidi Aldiano bahkan mulai rutin membagikan pengalaman mereka menjalani “digital reset” secara berkala, sehingga tren ini menyebar dengan cepat.
Tantangan dan Masa Depan Digital Wellness
Meski menjanjikan, tren ini juga menghadapi tantangan. Banyak pekerja merasa “bersalah” saat melepaskan koneksi digital karena tuntutan karier yang tak kenal waktu. Di sisi lain, beberapa penyedia retreat belum memiliki pendekatan ilmiah dan malah hanya menjual eksotisme spiritual.
Namun, kesadaran akan pentingnya kesehatan digital (digital wellness) makin tumbuh. Sekolah, kantor, bahkan startup teknologi mulai mengintegrasikan program digital mindfulness dalam kurikulum dan budaya kerja mereka.
Penutup: Saatnya Melepas untuk Kembali Terhubung
Di zaman yang serba terhubung, kadang yang paling kita butuhkan adalah melepaskan. Digital detox bukan tentang membenci teknologi, tapi tentang mengatur ulang hubungan kita dengan dunia digital, agar lebih seimbang, sehat, dan manusiawi.
Meninggalkan layar untuk sesaat, dan mendengarkan suara hati, mungkin adalah bentuk pemberontakan paling lembut yang bisa kita lakukan hari ini.